OmahKido: Kami siap melayani anda untuk memenuhi kebutuhan Pembayaran Tagihan, Pembelian Pulsa HP, Pembelian Tiket Pesawat dan KAI

Monday, May 24, 2010

Part-2: Punakawan - Semar

Semar, Gareng, Petruk dan Bagong merupakan empat Punakawan yang ada di versi pewayangan Jawa Tengah. pada kesempatan ini pembahasan akan lebih terfokus pada keempat puakawan itu. Semar, Petruk, Gareng dan Bagong seringkali di sebut sebagai "Prapat" atau empat. Keempat punakawan itu memiliki penampilan, gaya bicara, kelakuan, sifat dan ilosofi sendiri-sendiri menurut para pujangga penciptanya. Secara berurutan akan dibahas satu persatu mengenai tokoh punakawan tersebut. Semar adalah nama tokoh punakawan  paling utama dalam pewayangan Jawa bahkan juga pada pewayangan di daerah Sunda. Tokoh ini dikisahkan sebagai pengasuh sekaligus penasihat para kesatria dalam pementasan kisah-kisah Mahabharata dan Ramayana.


Pertama kali penokohan Semar ditemukan dalam karya sastra zaman Kerajaan Majapahit berjudul Sudamala.  Semar dikisahkan sebagai seorang abdi dari tokoh utama cerita tersebut, yaitu Sahadewa dari keluarga Pandawa. Dengan posisi sebagai Punakawan itu Semar tidak hanya menjadi seorang abdi namun juga sebagai penebar humor, candaan dan pemecah ketegangan di dalam suatu cerita. Pada zaman berikutnya, ketika kerajaan-kerajaan Islam berkembang di Pulau Jawa, peran Semar semakin menjadi lebih aktif dan lebih banyak daripada dalam kisah Sudamala.
Banyak versi yang menjelaskan asal-usul dan kelahiran Semar, namun semuanya menyebut tokoh ini sebagai penjelmaan dewa.

Banyak naskah-naskah pujangga yang mengisahkan tentang Tokoh Semar, antara lain Serat Kanda, Serat paramayoga, Serat Purwakanda dan Serat Purwacarita.

Di dalam naskah Serat Kanda dikisahkan, penguasa kahyangan bernama Sanghyang Nurrasa memiliki dua orang putra bernama Sanghyang Tunggal dan Sanghyang Wenang. Karena Sanghyang Tunggal berwajah jelek, maka takhta kahyangan pun diwariskan kepada Sanghyang Wenang. Dari Sanghyang Wenang kemudian diwariskan kepada putranya yeng bernama Batara Guru. Sanghyang Tunggal kemudian menjadi pengasuh para kesatria keturunan Batara Guru, dengan nama Semar.

Sedangkan di dalam naskah Paramayoga dikisahkan, Sanghyang Tunggal adalah anak dari Sanghyang Wenang. Sanghyang Tunggal kemudian menikah dengan Dewi Rakti, seorang putri raja jin kepiting bernama Sanghyang Yuyut. Dari perkawinan itu lahir sebutir mustika berwujud telur yang kemudian berubah menjadi dua orang pria. Keduanya masing-masing diberi nama Ismaya untuk yang berkulit hitam, dan Manikmaya untuk yang berkulit putih. Ismaya merasa rendah diri sehingga membuat Sanghyang Tunggal kurang berkenan. Takhta kahyangan pun diwariskan kepada Manikmaya, yang kemudian bergelar Batara Guru. Sementara itu Ismaya hanya diberi kedudukan sebagai penguasa alam Sunyaruri, atau tempat tinggal golongan makhluk halus. Putra sulung Ismaya yang bernama Batara Wungkuham memiliki anak berbadan bulat bernama Janggan Smarasanta, atau disingkat Semar. Ia menjadi pengasuh keturunan Batara Guru yang bernama Resi Manumanasa dan berlanjut sampai ke anak-cucunya. Dalam keadaan istimewa, Ismaya dapat merasuki Semar sehingga Semar pun menjadi sosok yang sangat ditakuti, bahkan oleh para dewa sekalipun. Jadi menurut versi ini, Semar adalah cucu dari Ismaya.

Dan di dalam naskah Purwakanda dikisahkan, Sanghyang Tunggal memiliki empat orang putra bernama Batara Puguh, Batara Punggung, Batara Manan, dan Batara Samba. Suatu hari terdengar kabar bahwa takhta kahyangan akan diwariskan kepada Samba. Hal ini membuat ketiga kakaknya merasa iri. Samba pun diculik dan disiksa hendak dibunuh. Namun perbuatan tersebut diketahui oleh ayah mereka. Sanghyang Tunggal pun mengutuk ketiga putranya tersebut menjadi buruk rupa. Puguh berganti nama menjadi Togog sedangkan Punggung menjadi Semar. Keduanya diturunkan ke dunia sebagai pengasuh keturunan Samba, yang kemudian bergelar Batara Guru. Sementara itu Manan mendapat pengampunan karena dirinya hanya ikut-ikutan saja. Manan kemudian bergelar Batara Narada dan diangkat sebagai penasihat Batara Guru.

Namun di dalam naskah Purwacarita dikisahkan, Sanghyang Tunggal menikah dengan Dewi Rekatawati putra Sanghyang Rekatatama. Dari perkawinan itu lahir sebutir telur yang bercahaya. Sanghyang Tunggal dengan perasaan kesal membanting telur itu sehingga pecah menjadi tiga bagian, yaitu cangkang, putih, dan kuning telur. Ketiganya masing-masing menjelma menjadi laki-laki. Yang berasal dari cangkang diberi nama Antaga, yang berasal dari putih telur diberi nama Ismaya, sedangkan yang berasal dari kuningnya diberi nama Manikmaya. Pada suatu hari Antaga dan Ismaya berselisih karena masing-masing ingin menjadi pewaris takhta kahyangan. Keduanya pun mengadakan perlombaan menelan gunung. Antaga berusaha melahap gunung tersebut dengan sekali telan namun justru mengalami kecelakaan. Mulutnya robek dan matanya melebar. Ismaya menggunakan cara lain, yaitu dengan memakan gunung tersebut sedikit demi sedikit. Setelah melewati beberapa hari seluruh bagian gunung pun berpindah ke dalam tubuh Ismaya, namun tidak berhasil ia keluarkan. Akibatnya sejak saat itu Ismaya pun bertubuh bulat. Sanghyang Tunggal murka mengetahui ambisi dan keserakahan kedua putranya itu. Mereka pun dihukum menjadi pengasuh keturunan Manikmaya, yang kemudian diangkat sebagai raja kahyangan, bergelar Batara Guru. Antaga dan Ismaya pun turun ke dunia. Masing-masing memakai nama Togog dan Semar.

Batara Ismaya dikisahkan sewaktu masih di kahyangan sempat dijodohkan dengan sepupunya yang bernama Dewi Senggani. Dari perkawinan itu lahir sepuluh orang anak, yaitu: Batara Wungkuham, Batara Surya, Batara Candra, Batara Tamburu, Batara Siwah, Batara Kuwera, Batara Yamadipati, Batara Kamajaya,  Batara Mahyanti, dan Batari Darmanastiti

Semar yang merupakan penjelmaan dari Ismaya mengabdi untuk pertama kali kepada Resi Manumanasa, yang tidak lain adalah leluhur para Pandawa.

Di dalam pementasan pewayangan tokoh Semar memiliki bentuk fisik yang sangat unik, seolah-olah ia merupakan simbol penggambaran jagad raya. Tubuhnya yang bulat merupakan simbol dari bumi, tempat tinggal umat manusia dan makhluk lainnya. Semar selalu tersenyum tapi bermata sembab, penggambaran ini sebagai simbol suka dan duka. Wajahnya tua tapi potongan rambutnya bergaya kuncung seperti anak kecil, sebagai simbol tua dan muda. Ia berkelamin laki-laki, tapi memiliki payudara seperti perempuan, sebagai simbol pria dan wanita. Ia penjelmaan dewa tetapi hidup sebagai rakyat jelata, sebagai simbol atasan dan bawahan.

Semar merupakan tokoh pewayangan ciptaan pujangga di Jawa. Walaupun perannya hanya sebagai abdi, namun keluhurannya sejajar dengan Prabu Kresna dalam kisah Mahabharata. Ini juga dapat diketahui dengan adanya beberapa tokoh di Wayang di jawa selalu menggunakan bahasa Kromo Hinggil atau bahasa Jawa untuk kalangan Ksatria dan para Raja dan Ratu. Bahkan tidak jarang beberapa tokoh tersebut tidak mau menerima "sembah bekti" dari Semar selakyaknya sembah bekti yang selalu dan harus di ucapkan seorang abdi kepada majikannya, ini dikarenakan para tokoh tersebut takut terkena "tula sarik" atau karma yang jelek. Bahkan dalam perang Baratayuda menurut versi aslinya, penasihat pihak Pandawa hanya Kresna seorang, maka dalam pewayangan, jumlahnya ditambah menjadi dua, dan yang satunya adalah Semar.

Sebenarnya tokoh Semar ini hanya muncul dalam kisah Mahabharata namun di dalam pementasan wayang bahkan di dalam cerita Ramayana, semar pun seringkali dimunculkan didalam cerita tersebut, jadi bisa dibilang hampir disemua pementasaan wayang tidak menghiraukan apapun itu judulnya maka Semar selalu dimunculkan.

Di setiap kisah yang dipentaskan Tokoh punakawan sebenrnyanya dibagi menjadi dua golongan, yaitu golongan Punakawan yang mengasuh golongan Kesatria dimana semar berada pada golongan ini  dan golongan punakawan yang mengasuh golongan raksasa dimana dalam golongan ini diasuh oleh punakawan dengan nama Togog. Dapat dipastikan anak asuh Semar selalu dapat mengalahkan anak asuh Togog. Hal ini sesungguhnya merupakan simbol belaka. Semar merupakan gambaran perpaduan rakyat kecil sekaligus dewa kahyangan. Jadi, apabila para pemerintah - yang disimbolkan sebagai kaum kesatria asuhan Semar - mendengarkan suara rakyat kecil yang bagaikan suara Tuhan, maka negara yang dipimpinnya pasti menjadi nagara yang unggul dan sentosa.

Di dalam pementasan pewayangan Jawa Tengah, Semar selalu disertai oleh anak-anaknya, yaitu Gareng, Petruk, dan Bagong. Sedangkan togog selalu ditemani oleh Bilung, namun dalam pewayangan Sunda, urutan anak-anak Semar adalah Cepot, Dawala, dan Gareng. Sementara itu, dalam pewayangan Jawa Timuran, Semar hanya didampingi satu orang anak saja, bernama Bagong, yang juga memiliki seorang anak bernama Besut.

1 comment:

Asaz said...

tokoh punakawan dipakai sarana oleh ki dalang untuk menyampaikan misi dan tujuan misalnya dawah atw nasihat, berupa pituah pituah dan palsafah serta nilai nilai moral dalam hal ini perlu pengetahuan luas ki dalang sendiri